Rabu, 25 Juni 2014

AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM

1.    Penciptaan Manusia

Dalam agama Buddha, manusia ada bukan merupakan hasil ciptaan, melainkan akibat dari proses yang terjadi terus-menerus, sehingga akhirnya terbentuklah manusia. Proses keberadaan manusia ini dipengaruhi oleh ajaran mengenai alam semesta. Adanya manusia adalah dari proses cahaya yang nantinya akan lahir kembali dan berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lain, sampai adanya manusia. Keberadaan manusia ini sangat dipengaruhi oleh sebab dan akibat.

Proses sebab akibat ini dikenal dengan proses tumimba lahir. Proses tumimba lahir adalah sebab musabab yang saling bergantungan. Proses ini berhubungan dengan bagaimana mengatasi penderitaan hidup yang berulang-ulang, tanpa mempedulikan asal-usul kehidupan yang pertama. Segala sesuatu yang terjadi tergantung pada kejadian yang mendahului atau mengkondisikannya, inilah yang disebut sebab. Manusia akan mengalami kelahiran kembali dan keadaannya akan tergantung pada karmanya (perbuatannya) dikehidupan yang lalu.

Agama Buddha lebih menekankan peranan manusia itu sendiri untuk mendatangkan hal-hal yang baik atas dirinya sendiri maupun kejadian apa yang akan dialaminya (karma). Mengenai nyawa, Buddha mengemukakan ajarana antta, yakni ajaran mengenai tidak adanya nyawa, tidak adanya aku. Dunia yang ditanggapi oleh panca indra ini bagi kita merupakan sejumlah makhluk-makhluk yang hidup dan substansi-substansi yang mati. Sesungguhnya semua itu tidak ada, melainkan hanya dharma, unsur-unsur keadaan atau tenaga-tenaga saja. Semua itu fana, tidak ada satupun yang kekal. Inilah sengsara atau penderitaan kita, bahwa kita ini tidak tahu akan hal itu (awidya). Kita harus belajar mengerti, bahwa tiap-tiap makhluk hidup itu hanya suatu rangkaian kombinasi unsur-unsur yang daripadanya segala sesuatu terdiri, rangkaian dharma-dharma.

Dharma-dharma itu terbagi atas lima golongan yang disebut dengan skanda: Rupa, yaitu badan, yang badani, benda (materi); Vedana berupa perasaan-perasaan; Samnya, berupa angan-angan bayangan -atau tanggapan; Samskara, berupa tenaga penggerak, kemauan atau nafsu-nafsu yang menyebabkan karma; Vinaya, yaitu mengenani kejelasan atau kesadaran.

Kehidupan manusia ini diibaratkan seperti rantai. Ada 12 mata rantai kehidupan manusia: Avijja (kebodohan batin), Sankhara (bentuk-bentuk karma), Patisando Vinarna (kesadaran), nama dan raga (batin dan jasmani) Salayatana (enam landasan India), Phassa (kortex), Vidana (perasaan); Tantra (nafsu keinginan); Upadana (melekat), Bhava (terus menjadi tumbuh), jati (kelahiran); Jasa Marana (tua dan mati).

2.    Penciptaan Alam

Terbentuknya alam semesta menurut ajaran Buddha berawal dari cahaya. Namun karena ketamakan diri manusia, membuat alam semesta dan bumi ini terbentuk seperti sekarang ini. Hal ini tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses yang panjang dan menghabiskan waktu berabad-abad lamanya. Dalam prosesnya, alam semesta hanya terbentang ini tidak terbatas dalam ruang dan waktu. Ada tiga susunan alam semesta, yaitu:
1.  Alam hawa nafsu (kamavacara), alam ini terdiri dari bahan-bahan kasar dan unsur-unsur bumi (api, air dan udara) yang didiami oleh makhluk-makhluk berbadan kasar (jasmani).
2.  Alam bentuk (rupavacara), alam ini didiami oleh dewa-dewa yang masih memiliki badan yang lebih halus, tetapi tidak memiliki hawa nafsu.
3.  Alam yang tidak ada bentuk (arupavacara), pada alam ini didiami oleh dewa-dewa yang tidak berbadan, artinya masuk kea lam ini setelah pengheningan cipta (nibana).

Kisah kejadian alam semesta dan manusia diuraikan oleh Buddha dalam Dighya Nikaya, Agganna Sutta, dan Bahmajala Sutta. Dalam Agganna Sutta diterangkan bahwa sebelum terbentuknya dunia baru yang ditempati manusia, dunia yang lama mengalami kehancuran (kiamat). Setelah melewati satu masa yang lama sekali, maka terbentuklah dunia yang baru. Dan seiring dengan itu, lahir pula makhluk-makhluk yang mati di alam cahaya (ambhasara). Mereka lahir secara spontan sebagai makhluk di bumi yang baru terbentuk itu. Makhluk tersebut hidup dari ciptaan batin (manomaya), memiliki tubuh yang bercahaya dan melayang-layang. Pada saat itu belum ada laki-laki dan perempuan, mereka hanya dikenal sebagai makhluk saja.
Sebagian makhluk memiliki tubuh yang indah, sebagian makhluk lainnya memiliki tubuh yang buruk. Oleh karena hal ini, mereka memandang rendah makhluk yang bertubuh buruk, sehingga sari tanah yang mereka makan lenyap. Selanjutnya, tumbuh-tumbuhan menjalar, kemudian timbul sejenis padi purba, namun karena keserakahan dan kemalasan mereka (menuai padi untuk disimpan lama), sehingga batang padi yang dipotong tidak tumbuh lagi dalam waktu yang lama (masa menunggu).
Berdasarkan apa yang mereka makan, bentuk tubuh mereka semakin padat, dan perbedaan tubuh mereka semakin Nampak jelas. Wanita lebih jelas kewanitaannya (itthilinga) dan laki-laki lebih jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Mulai sejak itu, laki-laki memperhatikan wanita dan wanita memperhatikan laki-laki. Sehingga muncullah nafsu birahi (indriya) yang membara. Sebagai akibat munculnya nafsu ini, mereka melakukan hubungan seks yang kemudian menghasilkan keturunan.


(Sumber: Tony Tedjo, Mengenal agama Hindu, Buddha, Khong Hucu, Pionir Jaya, Bandung: 2011)

3. Hubungan Manusia dan Alam

Pandangan ajaran Buddha terhadap alam (alam semesta)
Menurut sang Buddha, bahwa sifat segala sesuatu adalah terus berubah (anicca). Begitu pula dengan sifat alam. Alam bersifat dinamis dan kinetik, selalu berproses dengan seimbang. Unsur-unsur alam yang tampak dalam pandangan Buddha ada empat, yakni unsur padat (pathavi), cair (apo), panas (tejo), gerak (vayo).
Hukum yang berlaku pada alam(alam semesta) dapat dikategorikan dalam lima aturan yang disebut panca niyamadhamma, yaitu utuniyama (hukum fisika), bijaniyama (hukum biologi), cittaniyama (hukum psikologis), kammaniyama (hukum moral), dhammaniyama (hukum kausalitas).

Pandangan ajaran Buddha terhadap makhluk hidup (manusia dan hewan)
Makhluk hidup dalam ajaran Buddha, terdiri dari manusia dan hewan. Tumbuhan tidak termasuk. Makhluk hidup(manusia dan hewan) tersusun atas lima kelompok kehidupan yang disebut lima khandha, yang terdiri dari rupa (wujud yang tampak/badan jasmani), vedana (perasaan), sanna(pencerapan,mengingat), sankhara (keadaan-keadaan pikiran), vinnana (kesadaran). Lima khandha ini secara ringkas disebut jasmani dan batin (rupadan nama).
Sang Buddha menyadari bahwa segala sesuatu yang berkondisi bersifat tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicatta),  tidak memuaskan atau menderita (dukkhata), dan bersifat tidak mempunyai inti yang kekal (anattata). Jadi makhluk hidup—manusia dan hewan— sebagai sesuatu yang berkondisi mempunyai sifat aniccadukkha, dan anatta.

Kesalingterkaitan makhluk hidup dan lingkungan (alam)
Sebagai awal untuk memahami kesalingterkaitan makhluk hidup dengan alam, akan dijelaskan interaksi antara manusia dengan hewan, hewan dengan alam, dan manusia dengan alam. Setelah itu akan dibahas kesalingterkaitan keseluruhan, sehingga akan menjadi jelas interaksi manusia-hewan-alam.
Sejak awal adanya manusia, sudah terjadi interaksi antara manusia dan hewan. Awal peradaban maju nenek moyang manusia adalah ditandai dengan ditemukannya api. Namun sudah sejak lama, sebelum dimulainya peradaban manusia dalam mengenal api, manusia telah berburu—sebuah interaksi dengan hewan. Bahkan peradaban selanjutnya, manusia memanfaatkan hewan untuk diternak demi memenuhi kebutuhan hidup.
Interaksi manusia dengan alam juga telah terjadi sejak dahulu kala. Manusia telah memanfaatkan alam, untuk membuat alat berburu, atau dimulainya era bercocok tanam setelah nenek moyang manusia hidup menetap. Selain itu manusia membutuhkan makanan, air, udara yang bersih yang kesemuanya adalah bagian dari lingkungan tempat manusia hidup.
Hewan dan alam juga saling berinteraksi. Banyak hewan yang hidup dengan sumber makanan dari alam(tumbuhan), dan banyak tumbuhan yang memerlukan bantuan hewan untuk berkembang, seperti contoh serangga membantu penyerbukan bunga, kotoran atau bangkai hewan yang mati menyuburkan tanah, dan sebagainya.
Terlihat dengan jelas bahwa sejak dahulu manusia telah berinteraksi dengan alam dan hewan untuk hidup. Sampai pada akhirnya—saat ini— interaksi tersebut malah merusak hewan dan alam. Banyak spesies hewan yang telah punah,  pencemaran air, udara, dan tanah, perusakan lingkungan hidup dan hutan. Padahal manusia hidup di alam dan membutuhkan alam untuk hidup, namun karena ketamakan manusia alam menjadi hancur. Bahkan bukan hanya alam, hewan pun tidak terlepas dari jerat keserakahan manusia. Perburuan liar terjadi di mana-mana hanya demi kepuasan materi. Alam yang semakin hancur, telah berdampak negatif terhadap hewan. Banyak hewan mati dan akhirnya punah karena lingkungan hidup mereka dirusak oleh manusia. Lebih menyedihkan lagi, manusia masih belum sadar ataupun tidak segera bertindak walaupun manusia telah mengetahui bahwa kehancuran lingkungan akan menyebabkan kehancuran pada dirinya. Hutan yang semakin sempit, polusi udara yang disebabkan kendaraan bermotor atau industri, membuat udara menjadi terkotori dan semakin sulit dibersihkan, hingga akibatnya terjadi pemanasan global yang pada giliran selanjutnya malah akan merugikan manusia sendiri. Jadi perbuatan manusia terhadap hewan atau alam sebagai lingkungan hidup akan mengakibatkan dampak yang akhirnya akan berbalik menghantam manusia.
Dari uraian di atas jelas bahwa manusia, hewan dan alam(lingkungan) saling mempengaruhi. Ketika salah satu bagian dari suatu sistem rusak, dampaknya akan dirasakan oleh seluruh sistem tersebut, seperti rusaknya lingkungan akan mengakibatkan kehancuran manusia pada akhirnya.

Kesalingterkaitan manusia-hewan-alam menurut ajaran Buddha
Setelah mengetahui sifat dan unsur dari alam ataupun makhluk hidup menurut kacamata Buddhis, sekarang akan ditinjau interaksi beserta hubungannya yang saling timbal-balik. Telah dijelaskan bahwa alam maupun makhluk hidup memiliki sifat selalu berubah atau berproses. Susunan wujud (rupa) manusia juga sama dengan alam menurut ajaran Buddha, yakni tersusun atas unsur padat, cair, panas dan gerak. Satu hal yang membedakan makhluk hidup(manusia dan hewan) dengan alam adalah manusia dan hewan tersusun selain oleh wujud (rupa) juga oleh batin (nama), sedangkan alam terbentuk hanya dari rupa.
Ajaran Buddha memandang bahwa semua fenomena yang terjadi di alam semesta adalah saling mempengaruhi dan berinteraksi. Semua yang terjadi berdasar hukum sebab-akibat yang saling mempengaruhi. Dalam ajaran Buddha hubungan sebab-akibat yang saling berinteraksi dan mempengaruhi ini disebut Paticcasamuppada. Setiap sebab yang terjadi, baik itu dilakukan oleh manusia, hewan atau hukum geologi akan mengakibatkan akibat  yang dampaknya akan dirasakan kembali oleh manusia, hewan, atau alam.
Sang Buddha menyadari hal tersebut, sehingga beliau mengajarkan kepada umat manusia untuk menghargai hewan maupun tumbuhan. Dalam Pancasilabuddhis aturan pertama sang Buddha mengajarkan manusia untuk menghindari melukai/menyakiti makhluk hidup. Sang buddha mengajarkan demikian dikarenakan beliau tahu perlunya manusia menghargai hewan demi menjaga keseimbangan ekosistem. Beliau juga mengajarkan manusia untuk menghargai tumbuh-tumbuhan. Jadi ajaran Buddha memandang bahwa manusia, hewan, dan alam saling mempengaruhi dan berinteraksi.

Wujud kepedulian terhadap alam dalam ajaran Buddha
Walaupun hampir keseluruhan ajaran Buddha menyoroti masalah terpenting manusia—tentang bagaimana terbebas dari penderitaan—yang dapat ditemukan pada teks-teks Pali, sang Buddha secara tersirat menyampaikan wujud kepedulian terhadap lingkungan hidup manusia(alam). Telah disebutkan di atas bahwasanya sang Buddha melihat segala fenomena kehidupan mengandung ciri terus berubah dengan proses sebab-akibat yang saling mempengaruhi, dan beliau juga mengajarkan manusia untuk menghargai hewan dan alam, maka dapat dikatakan bahwa sang Buddha menyadari ketika seseorang menjadi tidak menghargai hewan atau alam, akibatnya juga akan merugikan dirinya sendiri.
Sang Buddha memahami bahwa penghargaan terhadap hewan dan lingkungan adalah penting. Beliau mengajarkan metta, sebagai wujud aktif dalam menghargai hewan dan karuna, sebagai wujud nyata kepedulian terhadap hewan. Sang buddha selain melarang para Bhikkhu merusak tanaman dengan memetik, juga melarang mengotori lingkungan. Itu artinya bahwa sang Buddha sangat memperhatikan lingkungan hidup dan alam karena beliau tahu bahwa manusia hidup memerlukan alam.
Mungkin permasalahan lingkungan pada zaman sang Buddha belum begitu mengkhawatirkan sehingga sedikit yang disinggung oleh sang Buddha. Namun, dari ajaran-ajaran beliau secara tersirat beliau mengajarkan manusia untuk menghargai lingkungan karena tanpa adanya lingkungan yang baik, seseorang tidak dapat mencapai kesucian batin. Sang Buddha mengajarkan manusia melihat ke dalam diri sendiri melalui meditasi, dan karena diri sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari alam semesta, maka ketika seseorang dengan pandangan terang melihat dirinya, ia juga telah melihat keseluruhan alam semesta  yang saling berinteraksi dan mempengaruhi.
Tulisan singkat yang penulis paparkan adalah telaah awal terhadap ekologi dari sudut pandang ajaran Buddha. Diharapkan tulisan berikut sebagai pemacu perkembangan buddhisme di Indonesia dalam menyoroti berbagai disiplin ilmu lainnya, seperti sosiologi buddhis, antropologi buddhis, ekonomi buddhis, dan sebagainya.
Harapan penulis adalah setelah pembaca memahami tulisan ini, timbul kesadaran dalam menghargai lingkungan dan berusaha menyadari setiap tindakannya saat ini, sehingga setiap tindakan yang dilakukan tidak merusak lingkungan hidup manusia. Tulisan ini hanya akan menjadi sebuah tulisan kosong yang tidak berarti jikalau pembaca hanya sekedar paham tanpa disertai tindakan nyata.

(Sumber: https://willyyandi.wordpress.com/tag/ekologi-agama-buddha/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar