1. Pengertian Sila
Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang artinya “sifat”
atau “adat kebiasaan”. Menurut KBBI etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk tentang hak dan kewajiban moral.
Pelaksanaan
sila dalam agama Buddha adalah merupakan suatu kebijakan moral, etika atau tata
tertib dalam menjalani kehidupan kita sebagai manusia sehingga mampu bertingkah
laku secara baik dan benar bagi diri sendiri, orang lain, bahkan seluruh alam
semesta beserta isinya.[1]
Sila dalam buku-buku agama Buddha sering diterjemahkan sebagai
“moral, kebajikan, atau perbuatan baik”. Ajaran Buddha tentang sila adalah
etika Buddhis, petunjuk dan latihan moral yang membentuk perilaku baik. Menurut
kosa kata bahasa Pali, “sila” dalam pengertian luas padanannya adalah “etika”
dan dalam pengertian sempit padananya adalah “moral”.[2]
Sehingga umat Buddha dianjurkan untuk melaksanakan semua sila.
Buddhaghosa dalam kitab Visuddhimagga menafsirkan sila sebagai berikut:
pertama, sila menunjukkan sikap batin atau kehendak (cetana). Kedua,
menunjukikan penghindaran (virata) yang merupakan unsur batin (cetasika).
Ketiga, menunjukan pengendalian diri (samvara) dan keempat menunjukkan tiada
pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan (avitikhama).[3]
Sila terdiri dari lima aturan pokok yaitu:
1. Dengan mengetahui betapa dalamnya
hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih melindungi kehidupan.
2. Dengan mengetahui betapa dalamnya
hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih hanya mengambil apa yang
diberikan pada saya tanpa pamrih.
3. Dengan mengetahui betapa dalamnya
hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih menjaga hubungan dan
menghindari perilaku seksual yang keliru.
4. Dengan mengetahui betapa dalamnya
hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih berbicara baik dan jujur.
5. Dengan mengetahui betapa dalamnya
hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih melindungi kejernihan pikiran
dengan menghindari hal-hal yang membuat kecanduan.[4]
Selain itu
dalam Buddhisme Mahayana juga menjabarkan lebih lanjut dalam Sad Paramita yaitu
Sila Paramita
dengan hal-hal yang pantang dilakukan sebagai 10 (sepuluh)
perbuatan buruk sebagai mana tercatat dalam
Dasabhumika Sutra, Satasaharrika
Prajnaparamita dan Maha Vyutpatti yaitu:a
1.
Pantangan Membunuh
Pantangan membunuh ini dapat dijabarkan dengan tidak membunuh
ataupun menyiksa tubuh atau badan yang mengandung kehidupan, yang besar atau
yang kecil, yang berdosa atau tidak berdosa, selama makhluk itu masih hidup.
Sila ini mengajarkan agar kita selalu memiliki sifat cinta kasih dan kasih
saying terhadap semua makhluk hidup.
2.
Pantangan Mencuri
Pantangan mencuri dapat diartikan bahwa kita tidak boleh mengambil
atau memiliki sesuatu apakah berharga ataupun tidak berharga apabila tidak
diijinkan oleh pemiliknya. Pelaksanaan ini akan mengkibarkan kita selalu merasa
puas terhadap apa yang telah kita miliki.
3.
Pantangan Melakukan Perbuatan
Perzinahan
Pantangan melakukan perbuatan perzinahan dapat diartikan tidak
melakukan persetubuhan dengan pasangan yang bukan merupakan suami atau istri
sendiri. Sila ini mengajarkan agar kita tidak terjerumus dalam hahwa nafsu
birahi yang rendah.
4.
Perbuatan Yang Pantang Untuk
dilakukan Oleh Ucapan
Yaitu suatu pantangan perbuatan yang dilakukan melalui ucapan.
Tetrdapat 4 (empat) perbuatan yang pantang dilakukan yaitu pantang berdusta,
pantang menyebarkan isu yang tidak benar, pantang mengucapkan kata-kata kotor
dan pantang melakukan pembicaraan yang sia-sia.
5.
Pantang Berdusta
Pantang berdusta berarti kita harus berbicara secara jujur, dimana
dengan kekuatan kejujuran tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk menghadapi
segala rintangan. Sila ini mengajarkan agar kita senantiasa berterus terang dan
bersifat konsekuen terhadap segala sesuatu yang telah diucapkan.
6.
Pantang Menyebarkan Isu Yang Tidak
Benar
Hal ini berarti kita tidak
boleh menyebarkan berita-berita yang tidak benar (palsu) dengan tujuan
merugikan orang lain, menimbulkan pertentangan dan perpecahan
kelompok/masyarakat.
7.
Pantangan Mengucapkan Kata-kata
Kotor
Pantangan ini dapat diartikan agar kita tidak mencaci maki dengan
kata-kata kasar, kotor, tajam, penuh penghinaan ataupun yang dapat menyinggung
perasaan seseorang. Sila ini mengajarkan agar kita dapat bersifat sopan santun,
sabar, dan penuh kewibawaan serta kebijaksanaan.
8.
Pantangan Melakukan Pembicaraan
Sia-sia
Artinya segala pembicaraan yang kita lakukan haruslah dipikirkan
terlebih dahulu dan tidak melakukan suatu pembicaraan yang tidak berguna.
9.
Pantangan Memikirkan Nafsu Serakah
Pantangan ini dapat diartikan bahwa kita janganlah memikirkan sesuatu
untuk memenuhi keinginan dalam memiliki sesuatu yang tidak baik atau sesuatu yang
bukan milik atau hak kita.
10. Pantangan Berniat Jahat
Pantangan berniat jahat dapat diartikan bahwa kita janganlah mempunyai pikiran untuk berbuat jahat
sehingga tidak terperangkap dalam niat jahat tersebut yang dapat mendorong kita
untuk melakukan perbuatan jahat tanpa kita sadari.
11. Pantangan Berpandangan Sesat\
Hal ini dapat diartikan bahwa kita janganlah berpandangan yang
keliru terhadap segala sesuatu.[5]
Jadi jelaslah
bila kita menjalankan sila dengan baik maka kita akan mendapat kebahagiaan, dan
apabila jika berbuat jahat maka akan menderita. Adapun manfaat/faedah dari
sila, Sang Buddha bersabda dalam kitab suci MAHA PARI NIBHANA SUTTA sebagai
berikut:
a)
Sila menyebabkan seseorang banyak
harta.
b)
Nama dan kemsyhuran akan tersebar
luas.
c)
Menjadikan seseorang tenang (tanpa
ketakutan, tanpa keraguan, dan tidak takut di cela orang dimanapun dia berada).
d)
Menjadikan seseorang tenang di saat
menghadapi ajalnya sekalipun.
e)
Akan terlahir di alam bahagia.
f)
Menjadi orang yang dicintai oleh
makhluk-makhluk lain.[6]
Perlunya etika timbul dari kenyataan bahwa manusia tidak sempurna;
ia harus melatih dirinya untuk menjadi
baik. Jadi moralitas menjadi aspek
paling penting dalam kehidupanj. Etika umat Buddha bukanlah patokan
asal-asaloan yang ditemukan orang untuk tujuan manfaatnya sendiri.[7]
Etika umat Buddha tidak berlandaskan pada adat social yang berubah
tetapi pada hukum alam yang tidak
berubah. Nilai-nilai etika umat Buddha pada
hakikatnya adalah bagian dari alam dan hukum tetap sebab
akibat moral (kamma).[8]
Sila pertama kali diajarkan oleh Sang Buddha kepada lima petapa
yang bernama Assajji, Vappa, Bhadiya,
kondanna, dan Mahanama sewaktu
menjabarkan Empat Kesunyataan Mulia (Cattaro Ariyasaccani) yang
kemudian
disebut Dhammacakkapavattana Sutta.[9]
2. Catur Mara
Mara ialah sifat-sifat setan yang ada pada diri manusia. sifat-sifat
itu ialah sifat yang mengundang kejahatan dan
kegelisahan hati seperti, marah,
dendam, curiga, dan lain-lain. Sedangkan catur mara artinya empat sifat
setan/jahat.
a.
Dosa: ialah kebencian yang menjadi
akar dari perbuatan jahat (akusala-kamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya
metta. Dosa ini secara etika (ajaran tentang keluhuran budi dan peraturan
kesopanan) berarti kebencian. Tetapi secara psikologi (kejiwaan) berarti
pukulan yang berat dari pikiran terhadap objek yang bertentangan. Mengenai ini
terdapat dua macam nama yaitu:
1.
Patigha= Jijik atau tidak senang.
2.
Vyapada= Kemauan Jahat.
b.
Lobha: Ialah serakah yang menjadi
akar dari perbuatan jahat (akusalakamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya
karuna. Lobha ini secara etika berarti keserakahan/ketamakan.
c.
Issa: Ialah iri hati yaitu perasaan
tidak senang melihat makhluk lain berbahagia yang menjadi akar dari perbuatan
jahat dan akan lenyap bila dikembangkannya mudita.
d.
Moha: Ialah kegelisahan batin
sebagai akibat dari perbuatan dosa, lobha dan Issa, akan lenyap bila
dikembangkanya upekkha. Moha berarti kebodohan dan kurangnya pengertian. Selain
daripada itu Moha juga disebut Avijja= Katidak-tahuan. Atau Annaha= tidaak berpengetahuan,
atau Adassana= Tidak Melihat.[10]
3. Catur Paramitha
Catur Paramitha ialah sifat-sifat ketuhanan yang ada pada diri
manusia. Sedangkan Catur Paramitha ialah empat
sifat ketuhanan:
a.
Metta: Ialah cinta kasih universal
yang menjadi akar dari perbuatan baik (Kusala-Kamma). Bila ini berkembang dosa
akan tertekan.
b.
Karuna: Ialah kasih saying universal
karena melihat suatu kesengsaraan yang menjadi akar dari perbuatan baik. Bila
ini berkembang lobha akan tertekan.
c.
Mudhita: Ialah perasaan bahagia
universal karena melihat makhluk lain bergembira yang menjadi akar dari
perbuatan baik. Bila ini berkembang issa akan tertekan.
d.
Upekha: Ialah keseimbangan batin
universal sebagai hasil dari melaksanakan metta, karuna, mudhita dan upekha
juga merupakan akar dari perbuatan baik. Bila ini telah berkembang moha akan
tertekan. Bahkan akan lenyap.[11]
[1] Pengetahuan
Dharma Untuk Mahasiswa. (CV. Dewi Kayana Abadi. Jakarta: 2003). Hal: 91
[2]
Mukti, Wijaya, Krishnanda. Wacana Buddha-Dharma.(Yayasan Dharma
pembangunan. Jakarta: 2003). Hal: 176
[3]
Ibid hal: 180
[4]
Wisnton, Diana. Wide Awake Sadar Sepenuhnya. (Yayasan Penerbit Karaniya
Dharma Universal Bagi Semua). Hal: 236
[5] Op.Cit.
(CV. Dewi Kayana Abadi. Jakarta: 2003). Hal: 95-98
[6]
Ibid hal: 100-101
[7]
Dhammananda, Sri. Keyakinan Umat Buddha. (Yayasan penerbit
Karaniya. Tahun: 2005). Hal: 210-211
[8]
Ibid hal: 211
[9]
Rashid, S. M., Teja. Sila Dan Vinaya. (Budhis BODHI. Jakarta: 1997).
Hal: 8
[10]
M.S. Sumantri. et. al. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Majelis
Buddhayana Indonesi. Jakarta: 1980). Hal: 21
[11]
Ibid hal: 20-21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar